HASIL TRACER STUDY 2008

07/08/2011 14:38
Asia/Jakarta
 
UI melalui fakultas-fakultasnya telah beberapa kali menyelenggarakan tracer study. Namun demikian,karena tracer study tersebut dilakukan oleh fakultasfakultas maka aspek-aspek yang diteliti sangat bervariasi menurut kepentingan fakultas masing-masing. Tracer study tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai gambaran mewakili lulusan UI. Melalui Tracer Study UI 2008 yaitu tracer study yang dilakukan pada tingkat universitas, diharapkan dapat digali informasi mengenai perkembangan pencarian kerja alumni sarjana reguler UI lulusan tahun 2000-2006 di fakultas di lingkunga UI.
 
Career Development Center UI (CDC-UI) pada September 2007-Mei 2008 melaksanakan Tracer Study UI 2008 dengan Peneliti Utama Ahmad Syafiq, PhD. Studi yang dilakukan adalah studi kuantitatif dengan disain cross-sectional. Dari 17.398 lulusan sarjana reguler tahun 2000-2006 di seluruh fakultas di lingkungan UI dipilih sebagai sampel sebanyak 936 responden. Perhitungan besar sampel dilakukan secara proporsional sesuai dengan jumlah lulusan di setiap fakultas sehingga data yang dihasilkan dapat digeneralisasikan menurut fakultas. Pengumpulan data dilakukan oleh surveyor tingkat fakultas berdasarkan database lulusan yang ada di Bagian Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas. Pelacakan dilakukan secara multimoda (telepon, e-mail, fax, langsung/tatap muka)
dan responden diwawancara atau mengisi sendiri kuesioner.
 
Tabel 1.
Total Lulusan Sarjana Reguler Tahun 2000-2006 dan Jumlah Sampel

 

Hasil penelitian

Dari sejumlah 936 responden yang dihubungi,sejumlah 856 responden mengisi kuesioner atau diwawancarai dengan response rate sebesar 92%.Diperoleh informasi bahwa lebih dari separuh (62%)responden menyatakan bahwa fakultasnya adalah pilihan pertama (Gambar 1). FK merupakan fakultas favorit yang terbanyak menjadi pilihan pertama

responden (97%), diikuti oleh Fasilkom (79%), dan FE (77%). Fakultas yang kurang diminati sebagai pilihan pertama adalah FIK (35%), FMIPA (40%), dan FIB (41%). Informasi ini penting karena mencerminkan minat dan motivasi mahasiswa yang berbeda tergantung tingkat pilihannya. Dalam hal ini pihak fakultas yang bukan favorit harus bekerja lebih keras untuk dapat meyakinkan mahasiswanya mengenai pilihan studinya.
 
Gambar 2. menjelaskan bahwa sejumlah 27% responden saat ini sedang melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Alasan utama mereka bersekolah lagi adalah karena ilmu yang dimiliki masih kurang   (37%), ada kesempatan (26%), dan diperlukan untuk bekerja (16%). Situasi ini perlu terus dimonitor sebagai fenomena yang mencerminkan dinamika kebutuhan
lulusan dan sekaligus dinamika tuntutan dunia kerja terutama terkait dengan kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan.
 
Rata-rata (mean) lama masa tunggu kerja adalah 10 bulan dan median adalah 5 bulan. Perlu diperhatikan bahwa distribusi lama masa tunggu kerja tidak berbentuk kurva normal sehingga dengan demikian, angka yang lebih layak sebagai ukuran pusat adalah angka median yaitu 5 bulan (Gambar 3).
 
Masa tunggu kerja adalah indikator obyektif dari kesuksesan dalam karir. Fakultas dengan masa tunggu kerja terlama adalah FMIPA (10 bulan), sedangkan FKG dan FH yang tercepat (3 bulan). Informasi penting lainnya adalah kenyataan bahwa 47% responden menyatakan tidak bersedia bekerja dan ditempatkan di daerah (Gambar 4). Kesediaan bekerja dan ditempatkan di daerah penting dicermati karena hal ini terkait dengan pemerataan pembangunan, dimana pembangunan di daerah tertinggal jika dibandingkan dengan di pusat. Situasi ini perlu dielaborasi lebih lanjut terutama mengenai aspek ketersediaan pekerjaan di daerah dan kesesuaian bidang ilmu. Misalnya bidang ilmu dari rumpun kesehatan mungkin lebih diperlukan di daerah dibandingkan dengan disiplin perbankan.
Berdasarkan informasi mengenai instansi tempat bekerja terakhir diketahui bahwa sebagian besar (50%) responden bekerja di sektor swasta. Sisanya tersebar merata di sektor pemerintahan (pusat dan daerah), wiraswasta, BUMN dan lainnya (Gambar 5). Tampak bahwa pegawai negeri bukanlah preferensi bagi lulusan UI, bekerja di sektor swasta lebih menjadi pilihan. Di amping faktor emunerasi dan daya tarik finansial sektor swasta, ketersediaan lowongan pegawai negeri yang makin terbatas juga mungkin menjadi penyebab fenomena ini.
 
Dalam hal dinamika kerja, sebagian besar (66%) responden menyatakan pernah bekerja di tempat lain sebelum bekerja di tempat terakhir. Sejumlah 29% responden bahkan pernah pindah kerja sebanyak 3 kali tau lebih (Gambar 6). Jika dirujuk pada alasan memilih pekerjaan terakhir terungkap bahwa responden memilih pekerjaan terakhir dengan pertimbangan untuk mendapatkan pengalaman kerja (29%), agar sesuai dengan bidang keilmuan (23%), dan gaji memadai (20%). Mobilitas pekerjaan ini dapat dinilai positif maupun negatif. Secara positif menunjukkan bahwa lulusan UI dihargai dan mudah diterima bekerja di berbagai tempat, tetapi secara negatif dapat dipandang bahwa lulusan UI kurang loyal pada tempat bekerja (dalam istilah di dunia kerja sering disebut sebagai "kutu loncat").

Dalam hal kompetensi, hanya 7% responden yang merasa kurang atau tidak mampu bersaing dengan lulusan universitas lain saat baru lulus dari UI. Informasi ini penting bagi fakultas untuk memperbaiki proses pembelajaran agar dapat juga membangun rasa percaya diri dalam disiplin ilmunya serta menginformasikan kepada lulusan mengenai perolehan kompetensi selama pendidikan (Gambar 7).

Pengalaman pembelajaran di luar kelas (di masyarakat, perusahaan, organisasi kemahasiswaan) dianggap sangat penting oleh kebanyakan responden. Hampir tidak ada responden yang menyebutkan bahwa pengalaman belajar di masyarakat dan perusahaan kurang penting atau tidak penting. Temuan ini perlu ditindaklanjuti baik oleh pihak universitas, fakultas, maupun departemen agar dijadikan masukan saat penyempurnaan proses pembelajaran dan kurikulum.

Dari segi kompetensi, ditemukan bahwa kesenjangan yang paling lebar antara kebutuhan dan penguasaan kompetensi dijumpai pada kepemimpinan,manajemen organisasi, pemberdayaan masyarakat, pengetahuan praktis, serta keterampilan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis. Hal yang menarik adalah bahwa nilai negatif dijumpai pada pengetahuan teoritis yang artinya lulusan merasa kompetensi yang dikuasai melebihi yang dibutuhkan. Diketahui bahwa saat ini pendidikan di perguruan tinggi lebih banyak menekankan pada aspek teoretis dan teknis spesifik sedangkan aspek kompetensi sosial dan komunikasi serta organisasi kurang mendapat tekanan. Tentu hal ini juga perlu diperhatikan pada saat proses penyempurnaan proses pembelajaran dan kurikulum (SFI).

AttachmentSize
t8.pdf71.23 KB